Penjelasan Ilmiah tentang Mimpi

Published Januari 2, 2013 by gaulnugraha

Sebuah mimpi adalah deretan pemikiran, citra, suara atau emosi yang dialami pikiran saat tidur (American Heritage Dictionary, 2009). Isi dan fungsi mimpi tidak dipahami sepenuhnya walau ia telah menjadi spekulasi dan minat sepanjang sejarah. Studi ilmiah mimpi disebut oneirologi. Teknologi untuk mempelajari mimpi baru saja berkembang beberapa dekade belakangan.
Makna kultural mimpi
Mimpi Yakub tentang tangga malaikat

Sepanjang sejarah, orang telah mencari makna mimpi atau wahyu lewat mimpi (Lewis). Mimpi telah dijelaskan secara fisiologis sebagai respon pada proses syaraf pada saat tidur, secara psikologis sebagai cerminan bawah sadar, dan secara spiritual sebagai pesan dari tuhan, prediksi masa depan atau berasal dari jiwa, karena simbologi adalah bahasa jiwa. Banyak kebudayaan melaksanakan inkubasi mimpi, dengan tujuan memanen mimpi yang prophetik atau mengandung pesan dari Tuhan.

Yahudi punya upacara tradisional yang disebut”Hatavat Halom” – yang berarti membuat mimpi menjadi baik. Lewat ritual ini mimpi yang mengganggu dapat diubah untuk memberikan penafsiran yang positif oleh seorang rabbi atau sebuah dewan rabbi (Wein, 2006).
Neurologi Bermimpi
EEG menunjukkan gelombang otak saat tidur REM

Tidak ada definisi yang diterima secara universal mengenai definisi bermimpi. Tahun 1952, Eugene Aserinsky menemukan dan mendefinisikan tidur REM saat bekerja dalam pembedahan penasehat PhDnya. Aserinsky menemukan kalau mata orang yang tidur bergerak di bawah kelopak matanya, kemudian ia menggunakan mesin poligraf untuk mencatat gelombang otak mereka saat periode ini. Dalam satu sesi, ia membangunkan subjek yang menangis dan mengigau saat REM dan membenarkan kecurigaannya kalau mimpi telah terjadi (Demend, 1966). Tahun 1953, Aserinsky dan penasehatnya menerbitkan studi terobosan dalam jurnal Science (Aserinsky dan Kleitman, 1953).

Pengamatan yang bertumpuk menunjukkan kalau mimpi erat kaitannya dengan tidur gerakan mata cepat (Rapid Eye Movement – REM), dimana sebuah elektroencephalogram menunjukkan aktivitas otak paling besar seperti saat sadar. Mimpi yang tidak di ingat oleh partisipan pada saat tidur non-REM secara normal lebih biasa dalam perbandingan (Dement dan Kleitmann, 1957). Pada sebuah rentang hidup umum, seorang manusia menghabiskan waktu enam tahun bermimpi (sekitar dua jam tiap malam). Sebagian besar mimpi hanya berlangsung 5 hingga 20 menit. Tidak diketahui dari daerah mana di otak mimpi berasal, bila ada satu asal usul mimpi atau apakah banyak bagian otak terlibat, atau apa tujuan mimpi bagi tubuh dan pikiran.

Pada saat tidur REM, pelepasan neurotransmitter tertentu sepenuhnya ditekan. Sebagai hasilnya, neuron motorik tidak terangsang, sebuah kondisi yang disebut atonia REM. Ini mencegah mimpi menghasilkan gerakan tubuh berbahaya.

Menurut sebuah laporan di jurnal Neuron, otak tikus menunjukkan bukti aktivitas rumit saat tidur, termasuk pengaktifan dalam ingatan deretan panjang aktivitas (Louie dan Matthew, 2001). Studi menunjukkan kalau beragam spesies mamalia dan burung mengalami REM saat tidur, dan mengikuti deretan kondisi tidur yang sama seperti manusia.

Walaupun kekuatannya untuk menjadi liar, merangsang, menakutkan atau mengesankan, mimpi sering diabaikan dalam model utama psikologi kognitif (Barret dan McNamara, 2007). Sebagai metode pemeriksaan digantikan dengan metode objektif yang lebih sadar sekdiri dalam sains sosial tahun 1930an dan 1940an, studi mimpi dibuang dari literatur ilmiah. Mimpi tidak secara langsung dapat diamati oleh pelaku eksperimen tidak pula mimpi yang dilaporkan oleh subjek dapat dihandalkan, akibat mangsa masalah penyimpangan akibat mengingat tertunda, bila ingat sama sekali. Menurut Sigmund Freud, mimpi lebih sering dilupakan sepenuhnya, mungkin karena karakter terlarangnya. Bersama-sama, masalah ini tampak membuatnya berada di luar kajian sains.

Penemuan kalau mimpi terjadi terutama pada saat kondisi tidur yang terbedakan secara elektrofisiologis, tidur gerakan mata cepat (REM), yang dapat diidentifikasi lewat kriteria yang objektif, membawa kelahiran pada minat fenomena ini. Saat episode tidur REM dihitung durasinya dan subjek dibangunkan untuk melaporkan sebelum editing atau pelupaan utama dapat terjadi, ditemukan kalau subjek secara teliti sesuai jangka waktu mereka menimbang narasi mimpi saat tidur sebanding dengan panjang tidur REM yang mendahului bangun. Korelasi dekat tidur REM dan pengalaman mimpi ini menjadi dasar sederetan laporan pertama yang menjelaskan sifat mimpi: yaitu teratur setiap malam, ketimbang berupa aktivitas yang tidak beraturan, dan berfrekuensi tinggi dalam tiap periode tidur yang berlangsung pada selang teramalkan sekitar tiap 60 – 90 menit sepanjang rentang hidup manusia. Episode tidur REM dan mimpi yang menemaninya diperpanjang waktu malam, dengan episode pertama yang terpendek, sekitar 10 – 12 menit, dan episode kedua dan ketiga meningkat hingga 15 – 20 menit. Mimpi pada akhir malam dapat berlangsung sepanjang 15 menit, walau ini dapat dialami sebagai beberapa kisah yang berbeda karena interupsi sesaat yang mengganggu tidur saat malam berakhir. Laporan mimpi dapat dilaporkan dari subjek normal pada 50% kejadian saat terbangun pada akhir periode REM pertama. Tingkat pengingatan ini meningkat hingga sekitar 99% saat bangun dari periode REM terakhir dalam satu malam. Peningkatan dalam kemampuan mengingat ini tampaknya berhubungan dengan intensifikasi sepanjang malam dalam kejelasan pencitraan, warna dan emosi mimpi.
Teori Sintesis Aktivasi

Tahun 1976 J. Allan Hobson dan Robert McCarley mengajukan sebuah teori baru yang merubah penelitian mimpi, menantang pandangan mimpi Freud sebelumnya sebagai keinginan bawah sadar untuk ditafsirkan. Teori sintesis aktivasi mengatakan bahwa pengalaman inderawi dibuat oleh korteks sebagai alat menafsirkan sinyal kacau dari pons. Mereka mengajukan kalau dalam mimpi REM, gelombang PGO (Ponto-Geniculo-Occipital) kolinergik naik merangsang struktur kortikal otak tengah dan depan, menghasilkan gerakan mata cepat. Otak depan yang teraktivasi kemudian mensintesa mimpi dari informasi yang dibuatnya secara internal. Mereka mengasumsikan kalau struktur yang sama yang menghasilkan tidur REM juga membangkitkan informasi inderawi.

Penelitian Hobson tahun 1976 menyarankan kalau sinyal yang ditafsirkan sebagai mimpi berasal dari batang otak saat tidur REM. Walau begitu, penelitian oleh Mark Solms menunjukkan kalau mimpi dibangkitkan di otak depan, dan bahwa tidur REM dan bermimpi tidak berhubungan langsung (Solms, 2000). Saat bekerja dalam departemen bedah syaraf di Johannesburg dan London, Solms memiliki akses pada pasien dengan beragam cedera otak. Ia mulai menanyakan pasien mengenai mimpi mereka dan membenarkan kalau pasien dengan kerusakan di lobus parietal tidak dapat bermimpi; penemuan ini sejalan dengan teori Hobson tahun 1977. Walau begitu, Solms tidak menemukan kasus hilangnya mimpi dengan pasien yang mengalami kerusakan batang otak. Pengamatan ini memaksanya mempertanyakan teori Hobson yang menandai batang otak sebagai sumber sinyal yang ditafsirkan sebagai mimpi. Solms memandang gagasan bermimpi sebagai fungsi dari banyak struktur otak yang membenarkan teori mimpi Freud, gagasan yang mendapat kritik dari Hobson. Tahun 1978, Solms, bersama rekannya William Kauffman dan Edward Nadar, melakukan sdederetan studi pengaruh tumbukan cedera traumatis menggunakan beberapa spesies primata, khususnya monyet howler, untuk menyanggah postulat Hobson kalau batang otak berperan penting dalam patologi mimpi. Sayangnya, percobaan Solms terbukti tidak dapat disimpulkan, karena tingkat kematian yang tinggi berasosiasi dengan penggunaan paku tumbuk hidrolik pada kerusakan otak buatan dalam subjek uji berarti bahwa pool kandidat akhirnya terlalu kecil untuk memenuhi persyaratan metode ilmiah (Rock, 2004)
Teori Aktivasi Berkelanjutan

Menggabungkan hipotesis sintesis aktivasi Hobson dengan penemuan Solm, teori mimpi aktivasi berkelanjutan disajikal oleh Jie Zhang yang mengajukan kalau mimpi adalah hasil dari aktivasi dan sintesis otak; pada saat bersamaan, tidur REM dan bermimpi dikendalikan oleh mekanisme otak yang berbeda. Zhang berhipotesis kalau fungsi tidur adalah memproses, menyandikan dan mentransfer data dari ingatan sementara ke ingatan jangka panjang, walau tidak ada banyak bukti mendukung konsolidasi ini. Tidur NREM memproses ingatan terkait sadar (ingatan deklaratif), dan tidur REM memproses ingatan terkait tidak sadar.

Zhang beranggapan kalau saat tidur REM, bagian otak yang tidak sadar sibuk memproses ingatan prosedural; sementara itu, tingkat aktivasi dalam bagian sadar otak akan turun pada tingkat sangat rendah karena masukan dari inderawi yang pada dasarnya tidak terhubung lagi. Ini akan memicu mekanisme “aktivasi-berkelanjutan” untuk membangkitkan aliran data dari penyimpan ingatan untuk mengalir lewat bagian sadar otak. Zhang menyarankan kalau aktivasi otak mirip sinyal ini adalah penginduksi tiap mimpi. Ia mengajukan bahwa, dengan keterlibatan sistem berpikir asosiatif otak, bermimpi kemudian, menjaga dirinya sendiri dengan pemikiran pemimpi sendiri hingga pemasukan sinyal ingatan selanjutnya. Hal ini menjelaskan mengapa mimpi memiliki karakteristik kontinuitas (dalam sebuah mimpi) dan perubahan mendadak (antara dua mimpi) (Zhang, 2004; 2005).
Mimpi sebagai perangsang ingatan jangka panjang

Eugen Tarnow menyarankan kalau mimpi adalah perangsangan pada ingatan jangka panjang yang selalu ada, bahkan pada saat sadar. Keanehan mimpi karena format ingatan jangka panjang, berdasarkan penemuan Penfield & Rasmussen bahwa rangsangan listrik pada korteks membangkitkan pengalaman yang sama dengan mimpi. Pada saat sadar, fungsi eksekutif menafsirkan ingatan jangka panjang konsisten dengan pemeriksaan realitas. Teori Tarnow adalah pengerjaan ulang teori mimpi Freud dimana ketidaksadaran Freud digantikan dengan sistem ingatan jangka panjang dan “Pekerjaan Mimpi” Freud menjelaskan struktur ingatan jangka panjang (Tarnow, 2003).
Lokasi hippocampus
Mimpi untuk memperkuat ingatan semantik

Studi tahun 2001 menunjukkan bukti bahwa lokasi ilogis, karakter dan aliran mimpi dapat membantu otak memperkuat keterhubungan dan keselarasan ingatan semantik. Kondisi ini dapat terjadi karena, saat tidur REM, aliran informasi antara hippocampus dan neokorteks berkurang (Stickgold et al, 2001). Meningkatnya level hormon stress kortisol cukup lama setelah tidur (sering saat tidur REM) menyebabkan menurunnya komunikasi ini. Satu tahap konsolidasi ingatan adalah pengkaitan ingatan yang jauh tapi berhubungan. Payne dan Nadal berhipotesis kalau ingatan ini kemudian di konsolidasikan menjadi sebuah narasi yang halus, sama dengan proses yang terjadi saat ingatan diciptakan waktu stress (Payne dan Nadel, 2004).
Mimpi untuk membuang sampah

Robert (1886), seorang ahli fisiologi dari Hamburg, adalah yang pertama kali berpendapat bahwa mimpi adalah sebuah kebutuhan dan bahwa ia memiliki fungsi untuk menghapus (a) kesan inderawi yang tidak sepenuhnya bekerja dan (b) gagasan yang tidak sepenuhnya berkembang sepanjang hari. Lewat mimpi, material yang tidak lengkap akan dibuang atau diperdalam dan dimasukkan kedalam ingatan. Gagasan Robert dikutip berulang kali oleh Freud dalam karyanya Traumdeutung. Hughlings Jackson (1911) memandang kalau mimpi bertindak untuk menyapu ingatan dan koneksi yang tidak perlu sepanjang hari. Hal ini direvisi tahun 1983 oleh teori ‘belajar mundur’ Crick dan Mitchison, yang menyatakan bahwa mimpi seperti operasi membersihkan komputer saat mereka offline, menghilangkan noda parasit dan “sampah” lainnya dari pikiran saat tidur (Evans dan Newman, 1964; Crick dan Mitchison, 1983). Walau begitu, pandangan berlawanan bahwa mimpi memiliki sebuah fungsi konsolidasi ingatan dan penanganan informasi (Hennevin dan Leconte, 1971) juga umum diterima. Mimpi adalah hasil dari penembakan spontan dari pola syaraf saat otak melakukan konsolidasi ingatan saat tidur.
Mimpi sebagai resonansi dalam rangkaian syaraf

Pada saat tidur, mata tertutup, sehingga otak pada beberapa derajat menjadi terisolasi dari dunia luar. Lebih jauh semua sinyal dari indera (kecuali penciuman) harus melewati thalamus sebelum mencapai korteks otak, dan pada saat tidur aktivitas thalamus terhenti (Rey et al, 2007). Ini berarti kalah otak terutama bekerja dengan sinyal dari dirinya sendiri. Sebuah fenomena yang terkenal baik dalam sistem fisika dinamis dimana tingkat masukan dan keluaran dari sistem rendah adalah bahwa ayunan membuat pola resonansi spontan terjadi. Karenanya, mimpi mungkin merupakan akibat sederhana dari ayunan syaraf.
Psikologi tidur dan mimpi
Mimpi untuk menguji dan memilih skema mental

Coutts (2008) berhipotesis kalau mimpi memodifikasi dan menguji skema mental saat tidur dalam sebuah proses yang ia namakan seleksi emosional, dan bahwa hanya modifikasi skema yang tampak adaptif secara emosional saat uji mimpi dipilih untuk retensi, sementara yang tampaknya maladaptif ditinggalkan atau dimodifikasi lebih jauh dan diuji. Alfred Adler berpendapat bahwa mimpi sering merupakan persiapan emosional untuk memecahkan masalah, membersihkan individu dari akal sehat menuju logika pribadi. Perasaan mimpi residual dapat memperkuat ataupun menginhibasi tindakan yang di kontemplasikan.
Teori psikologi evolusi tentang mimpi

Psikolog evolusioner percaya kalau mimpi merupakan semacam fungsi adaptif untuk bertahan hidup. Deirdre Barrett berpendapat kalau mimpi hanyalah “berpikir dalam kondisi biokimia yang berbeda” dan percaya kalau orang terus bekerja pada semua masalah yang sama – pribadi dan objektif – dalam keadaan tersebut.” (Barret, 2007). Penelitiannya menemukan kalau apapun – matematika, komposisi musik, masalah bisnis – dapat diselesaikan lewat mimpi, namun dua daerah yang khususnya membantu adalah 1) apapun yang mengandung visualisasi yang jelas dalam solusinya, apakah itu masalah desain seni atau penemuan teknologi 3 dimensi dan 2) masalah dimana solusinya berada dalam “berpikir di luar kotak” – yaitu orang tersebut terjebak karena kesepakatan umum dalam mendekati masalah tersebut salah (Barret, 2001; 1993). Dalam teori terkait, yang di istilahkan oleh Mark Blechner dengan “Darwinisme Oneirik,” mimpi dilihat sebagai penciptaan gagasan baru lewat pembuatan mutasi pemikiran secara acak. Sebagiannya ditolak oleh pikiran karena tidak berguna, sementara yang lain dilihat berguna dan dipertahankan (Blechner, 2001). Psikolog Finlandia Antti Revonsuo berpendapat bahwa mimpi telah ber evolusi sebagai “simulasi ancaman” secara eksklusif.
Teori Psikosomatik

Mimpi adalah hasil dari “imajinasi terdisosiasi”, yang terdisosiasi dari diri yang sadar dan menarik material dari ingatan inderawi untuk simulasi, dengan umpan balik inderawi dihasilkan dalam halusinasi. Dengan mensimulasi sinyal inderawi untuk mengendalikan syaraf otonom, mimpi dapat mempengaruhi interaksi pikiran – tubuh. Dalam otak dan tulang belakang, “syaraf penyembuh” otonom, yang dapat memperluas pembuluh darah, berhubungan dengan syaraf rasa sakit dan tekanan. Syaraf ini terkelompok menjadi banyak rantai yang disebut meridian dalam pengobatan china. Saat bermimpi, tubuh juga menggunakan meridian reaksi berantai untuk memperbaiki tubuh dan membantunya tumbuh dan berkembang dengan mengirimkan sinyal kompresi – gerakan sangat intensif saat tingkat enzim pertumbuhan bertambah (Tsai, 1995).
Hipotesis lain mengenai mimpi

Ada banyak lagi hipotesis mengenai fungsi mimpi, antara lain: (Cartwjustify, 1993)

* Mimpi memungkinkan bagian pikiran lain yang tertekan untuk dipuaskan lewat fantasi sementara tetap membiarkan pikiran sadar dari berpikir apa yang tiba-tiba menyebabkan seseorang tersadar dari shock (Veldfelt, 1999).
* Freud berpendapat bahwa mimpi buruk membuat otak belajar mengambil kendali pada emosi yang dihasilkan dari pengalaman yang menekan (Cartwjustify, 1993).
* Jung berpendapat kalau mimpi dapat menyumbang pada sikap satu sisi dalam kesadaran terjaga (Jung, 1948).
* Ferenczi (1913) berpendapat bahwa mimpi, saat diceritakan, dapat mengkomunikasikan sesuatu yang tidak dikatakan secara langsung.
* Mimpi mengatur mood (Kramer, 1993).
* Hartmann (1995) mengatakan mimpi dapat berfungsi seperti psikoterapi, dengan “membuat koneksi di tempat yang aman” dan memungkinkan pemimpi untuk mengintegrasikan pemikiran yang mungkin terdisosiasi saat ia sadar.
* Penelitian yang lebih baru oleh psikolog Joe Griffin, mengikuti tinjauan data dua belas tahun dari semua laboratorium tidur utama, membawa pada perumusaan teori pemenuhan harapan mimpi, yang menyarankan kalau mimpi secara metafora melengkapi pola harapan emosional dalam sistem syaraf otonom dan menurunkan tingkat stress mamalia (Griffin, 1997; Griffin dan Tyrrel, 2004)

Isi mimpi

Dari tahun 1940an hingga 1985, Calvin S. Hall mengumpulkan lebih dari 50 ribu laporan mimpi di Western Reserve University. Tahun 1966 Hall dan Van De Castle menerbitkan The Content Analysis of Dreams dimana mereka menggariskan sistem penyandian untuk mempelajari 1000 laporan mimpi dari mahasiswa (Hall dan Van de Castle, 1966). Ditemukan bahwa orang di penjuru dunia mengimpikan sebagian besar hal yang sama. Laporan mimpi lengkap Hall secara publik tersedia di pertengahan 1990an oleh protégé Hall William Domhoff, untuk analisis berbeda lebih lanjut.

Pengalaman pribadi dari hari kemarin atau minggu lalu sering ditemukan dalam mimpi (Alain et al, 2003).
Emosi

Emosi yang paling umum di alami dalam mimpi adalah rasa takut. Emosi lain antara lain rasa sakit, rasa kesepian, rasa senang, rasa gembira, dan sebagainya. Emosi negatif lebih sering dirasakan daripada positif (Hall dan Van de Castle, 1966).
Tema Seksual

Analisa data Hall menunjukkan kalau mimpi seksual terjadi tidak lebih dari 10% kejadian dan lebih sering terjadi pada remaja awal dan pertengahan (Hall dan Van de Castle, 1966). Studi lain menunjukkan kalau 8% mimpi pria dan wanita memiliki muatan seksual (Zadra, 2007). Dalam beberapa kasus, mimpi seksual dapat menghasilkan orgasme atau emisi nokturnal. Hal ini umumnya dikenal sebagai mimpi basah (Badan Pusat Statistik, 2004).
Mimpi berulang

Sementara isi dari sebagian besar mimpi di impikan hanya sekali, banyak orang mengalami mimpi yang berulang – yaitu, narasi mimpi yang sama di alami dalam saat berbeda waktu tidur. Hingga 70% perempuan dan 65% laki-laki melaporkan mimpi mereka berulang.
Warna vs Hitam putih

Sedikit orang mengatakan kalau mimpi mereka hanya hitam putih (Schredl et al, 2004; Alleyne, 2008).
Penafsiran Mimpi

Mimpi secara historik digunakan untuk menyembuhkan (seperti dalam asclepieion yang ditemukan dalam kuil Asclepius Yunani Kuno) dan juga sebagai petunjuk atau wahyu. Beberapa suku Indian menggunakan penaklukkan visi sebagai ritual perjalanan, puasa dan berdoa hingga sebuah mimpi pemandu diperoleh, dan dibagikan pada suku lainnya saat mereka kembali (Webb, 1995).

Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, baik Sigmund Freud maupun Carl Jung mengatakan mimpi sebagai interaksi alam bawah sadar dan sadar. Mereka juga mengatakan kalau alam bawah sadar adalah kekuatan dominan dalam mimpi, dan dalam mimpi ia menunjukkan aktivitas mentalnya pada fakultas persepsi. Sementara Freud merasa kalau ada sebuah sensor aktif melawan alam bawah sadar bahkan saat tidur, Jung berpendapat kalau kualitas buruk mimpi adalah bahasa yang efisien, dibandingkan dengan puisi dan secara unik mampu mengungkapkan makna di baliknya.

Fritz Perls menyajikan teori mimpinya sebagai bagian holistik terapi Gestalt. Mimpi dipandang sebagai proyeksi dari bagian diri yang diabaikan, ditolak atau ditekan (Wegner et al, 2004). Jung berpendapat kalau orang dapat mempertimbangkan setiap orang di dalam mimpi sebagai satu aspek dari pemimpi, yang ia sebut pendekatan subjektif mimpi. Perls memperluas sudut pandang ini dengan mengatakan kalau bahkan benda tidak hidup dalam mimpi dapat mewakili aspek pemimpi. Pemimpi karenanya diminta membayangkan sebuah benda dalam mimpinya dan menjelaskannya, untuk membawa ke kesadaran karakteristik dari benda yang berkaitan dengan kepribadian pemimpi.
Hubungan dengan kondisi medis

Terdapat bukti kalau beberapa kondisi medis (umumnya hanya kondisi neurologis) dapat mempengaruhi mimpi. Sebagai contoh, orang menderita sinestesia tidak pernah melaporkan mimpi yang sepenuhnya hitam putih, dan sering kali sulit membayangkan bagaimana bermimpi secara hitam putih (Harrison, 2001).

Terapi untuk mimpi buruk berulang (sering terkait dengan gangguan stress pasca trauma) dapat memuat membayangkan skenario alternatif yang dapat dimulai pada tiap langkah mimpi.
Mimpi dan psikosis

Sejumlah pemikir telah berkomentar pada kesamaan antara fenomenologi mimpi dan psikosis. Tampilan yang sama pada kedua keadaan adalah gangguan pikiran, efek melempeng atau ketidakpantasan (emosi), dan halusinasi. Diantara para filsuf, Immanuel Kant, misalnya, menulis kalau ‘orang gila adalah seorang pemimpi di saat bangun’ (La Barre, 1975). Arthur Schopenhauer mengatakan: ‘Sebuah mimpi adalah psikosis jangka pendek, dan sebuah psikosi adalah mimpi jangka panjang.’ (Ibid). Dalam bidang psikoanalisa, Sigmund Freud menulis: ‘Mimpi adalah sebuah psikosis’(Freud, 1940) dan Carl Jung: ‘Biarkan seorang pemimpi berjalan dan bertindak seperti orang yang sadar dan kita akan melihat gambaran klinis dari dementia praecox.’(Jung, 1909)

McCreery (1997, 2008) mencoba menjelaskan kesamaan ini dengan merujuk pada fakta, yang didokumentasikan oleh Oswald (1962), kalau tidur dapat muncul sebagai reaksi pada stress ekstrim dan rangsangan hyper. McCreery menambahkan bukti kalau psikotik adalah orang dengan kecenderungan terangsang hiper, dan menyarankan kalau hal ini membuat mereka rentan pada apa yang disebut oleh Oswald sebagai ‘tidur mikro’ saat sadar. Ia menekankan khususnya pada penemuan paradoksial dari Stevens dan Darbyshire (1958) dimana pasien yang menderita katatonia dapat dirangsang dari stupor mereka dengan menggunakan sedatif bukannya stimulan.

Griffin dan Tyrrell (2003a) melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa “schizophrenia adalah realitas sadar yang diproses dengan otak yang bermimpi.”(Griffin dan Tyrell, 2003b)
Fenomena lain yang berhubungan
Mimpi Lusid

Bermimpi lusid adalah persepsi sadar dari keadaan seseorang saat bermimpi. Dalam keadaan ini seseorang biasanya memiliki kendali pada karakter dan lingkungan dari mimpi dan juga tindakan pemimpi itu sendiri dalam mimpi. Kemunculan mimpi lusid telah dibenarkan secara ilmiah (Watanabe, 2003).

Oneironaut adalah istilah yang biasanya dipakai bagi mereka yang bermimpi lusid.
Mimpi transgresi tanpa pikiran

Mimpi transgresi tanpa pikiran (Dreams of absent-minded transgression – DAMT) adalah mimpi dimana sang pemimpi tanpa pikiran melakukan tindakan yang ia coba hentikan (salah satu contoh klasik adalah seorang yang berhenti merokok bermimpi menyalakan rokok). Subjek yang mengalami DAMT melaporkan bangun dengan perasaan bersalah. Salah satu studi menemukan hubungan positif antara memiliki mimpi ini dengan berhasilnya menghentikan perilaku (Hajek dan Belcher, 1991).
Bermimpi dan “dunia nyata”

Di waktu malam mungkin ada banyak stimuli luar yang membombardir indera, namun pikiran sering menafsirkan stimulus dan menjadikannya bagian dari sebuah mimpi untuk memastikan tidur yang berkelanjutan (Antrobus, 1993). Inkorporasi mimpi adalah sebuah fenomena dimana sebuah sensasi aktual, seperti suara lingkungan terindera di dalam mimpi seperti mendengarkan telepon berbunyi dalam mimpi sementara ia memang berdering di dunia nyata, atau bermimpi buang air kecil saat ia memang buang air kecil di ranjang. Pikiran dapat, walau begitu, membangunkan individual bila mereka dalam bahaya atau bila terlatih untuk merespon suara tertentu, seperti tangisan bayi. Kecuali dalam kasus mimpi lusid, orang bermimpi tanpa sadar kalau mereka bermimpi. Beberapa filsuf menyimpulkan kalau apa yang kita pikir sebagai “dunia nyata” bisa jadi atau memang sebuah ilusi (sebuah gagasan yang dikenal sebagai hipotesis skeptis ontologi). Terdapat lukisan terkenal karya Salvador Dalí yang menggambarkan konsep ini, berjudul “Dream Caused by the Flight of a Bee around a Pomegranate a Second Before Awakening” (1944). Gagasan pertama dalam hal ini dalam sejarah berasal dari Zhuangzi, dan juga di bahas dalam Hinduisme; Buddhisme membuat penggunaan ekstensif argumen ini dalam kitab-kitabnya (Kher, 1992). Ia secara resmi diperkenalkan dalam filsafat barat oleh Descartes pada abad ke-17 dalam karyanya Meditations on First Philosophy. Stimulus, biasanya dalam bentuk auditori, menjadi bagian dari mimpi, pada gilirannya membangunkan sang pemimpi. Istilah “inkorporasi mimpi” juga digunakan dalam penelitian yang memeriksa derajat dimana peristiwa siang sebelumnya menjadi unsur dari mimpi. Studi terbaru menunjukkan kalau peristiwa di hari sebelumnya, dan seminggu sebelumnya, memiliki pengaruh terbesar (Alain et al, 2003).
Mengingat mimpi

Ingatan tentang mimpi sangat tidak dapat dihandalkan, walau ia merupakan sebuah keahlian yang dapat dilatih. Mimpi biasanya dapat diingat jika seseorang tersadar saat bermimpi. Perempuan cenderung memiliki ingatan mimpi lebih banyak daripada laki-laki. Mimpi yang sulit diingat dapat dicirikan oleh pengaruh dan faktor yang relatif kecil seperti rangsangan dan interferensi yang berperan dalam mengingat mimpi. Seringkali, sebuah mimpi dapat diingat akibat melihat atau mendengar pemicu atau stimulus acak. Sebuah jurnal mimpi dapat dipakai untuk membantu mengingat mimpi, untuk tujuan psikoterapi atau hiburan semata. Bagi sebagian orang, citra atau sensasi yang kabur dari mimpi malam sebelumnya kadang secara spontan dirasakan di saat tertidur. Walau begitu mereka biasanya terlalu kabur untuk memungkinkan diingat. Paling tidak 95% dari semua mimpi tidak diingat. Kimiawi otak khusus yang diperlukan untuk merubah ingatan jangka pendek menjadi jangka panjang ditekan saat tidur REM. Kecuali sebuah mimpi tersebut terang dan anda terbangun segera setelahnya, isi dari mimpi tidak akan dapat diingat (Hobson dan McCarly, 1977).
Déjà vu

Salah satu teori déjà vu menisbahkan perasaan memiliki atau mengalami sesuatu yang sebelumnya sudah pernah dilakukan pada pengalaman bermimpi dalam situasi atau lokasi yang sama, dan melupakannya hingga ia secara misterius mengingatkan pada situasi atau lokasi saat sadar (Lohff, 2004)
Prakognisi tampak

Menurut survey, adalah umum bagi orang untuk merasakan bahwa mimpi mereka meramalkan peristiwa yang akan datang dalam hidupnya (Hines, 2003). Psikolog menjelaskan pengalaman ini dalam istilah bias ingatan, yaitu sebuah ingatan selektif untuk prediksi akurat dan ingatan tersimpangkan sehingga mimpi tersebut sesuai dengan pengalaman hidup (Ibid). Sifat multi faset dari mimpi membuatnya mudah menemukan koneksi antara isi mimpi dan peristiwa nyata (Gilovich, 1991).

Dalam satu percobaan, subjek diminta menuliskan mimpi mereka dalam diary. Hal ini mencegah efek ingatan selektif, dan mimpi-mimpi tidak lagi terlihat akurat meramalkan masa depan (Alcock, 1981). Percobaan lain memberi subjek sebuah diary palsu dari seorang siswa yang bermimpi prakognitif tampak. Diari ini menceritakan peristiwa dari kehidupan seseorang, dan juga beberapa mimpi prediktif dan beberapa mimpi non prediktif. Saat subjek diminta mengingat mimpi yang telah mereka baca, mereka mengingat lebih banyak prediksi yang sukses daripada prediksi yang gagal (Madey dan Gilovich, 1993).
Kebudayaan populer

Kebudayaan populer modern sering menganggap mimpi, seperti Freud, sebagai ekspresi rasa takut dan keinginan terdalam pemimpi (Van Riper dan Bowdoin, 2002). Dalam film seperti Spellbound (1945) atau The Manchurian Candidate (1962), protagonis harus mengekstrak petunjuk vital dari mimpi surreal (Ibid).

Sebagian besar mimpi dalam kebudayaan populer, walau begitu, tidak simbolik, namun langsung dan merupakan gambaran realistik dari rasa takut dan keinginan pemimpi (Ibid). Latar mimpi dapat tak terbedakan dari yang ada di dunia nyata pemimpi, sebuah alat naratif yang membawahi pemimpi dan rasa kemamanan penonton (ibid) dan memungkinkan protagonis film horror, seperti dari Carrie (1976), Friday the 13th (1980) atau An American Werewolf in London (1981) untuk mendadak menyerang kekuatan gelap sementara ia berada di tempat yang tampaknya aman (Ibid).

Dalam fiksi spekulatif, garis antara mimpi dan kenyataan dapat dikaburkan lebih jauh dalam cerita (Ibid). Mimpi dapat secara psikis diserang atau dimanipulasi (film Nightmare on Elm Street, 1984–1991) atau benar begitu saja (seperti dalam The Lathe of Heaven, 1971). Kisah demikian bermain pada pengalaman penonton dengan mimpi mereka sendiri, yang terasa nyata bagi mereka (Ibid).
Referensi

Alain, M.Ps., Geneviève; Tore A. Nielsen, Ph.D., Russell Powell, Ph.D., Don Kuiken, Ph.D. (July 2003). “Replication of the Day-residue and Dream-lag Effect”. 20th Annual International Conference of the Association for the Study of Dreams.

Alcock, James E. (1981). Parapsychology: Science or Magic?: a psychological perspective. Oxford: Pergamon Press.

Alleyne, R (October 17, 2008). “Black and white TV generation have monochrome dreams”. Telegraph: [Article].

Antrobus, John (1993). “Characteristics of Dreams”. Encyclopedia of Sleep and Dreaming.

Aserinsky, E; Kleitman, N. (September 1953). “Regularly occurring periods of eye motility and concomitant phenomena, during sleep”. Science 118 (3062): 273–274.

Badan Pusat Statistik “Indonesia Young Adult Reproductive Health Survey 2002-2004″ p. 27

Barrett, Deirdre & McNamara, Patrick (Eds.) The New Science of Dreaming, (3 vol.): Volume I: The Biology of Dreaming, Volume II: Content, Recall, and Personality Correlates of Dreams, Volume III: Cultural and Theoretical Perspectives on Dreaming, NY, NY: Praeger/Greenwood, June, 2007

Barrett, Deirdre. The Committee of Sleep: How Artists, Scientists, and Athletes Use their Dreams for Creative Problem Solving—and How You Can Too. NY: Crown Books/Random House, 2001

Barrett, Deirdre. The ‘Committee of Sleep’: A Study of Dream Incubation for Problem Solving. Dreaming: Journal of the Association for the Study of Dreams, 1993, 3, pp. 115-123.

Blechner, M. (2001) The Dream Frontier. Hillsdale, NJ: The Analytic Press.

Cartwjustify, Rosalind D (1993). “Functions of Dreams”. Encyclopedia of Sleep and Dreaming.

Coutts, R (2008). Dreams as modifiers and tests of mental schemas: an emotional selection hypothesis. Psychological Reports, 102, 561-574.

Crick, F. & Mitchison, G. (1983) The function of dream sleep. Nature, 304:111-114.

Dement, William (1996). The Sleepwatchers. Springer-Verlag.

Dement, W.; Kleitman, N. (1957). “The Relation of Eye Movements during Sleep to Dream Activity.’”. Journal of Experimental Psychology 53: 89–97.

Evans, C. & Newman, E. (1964) Dreaming: An analogy from computers. New Scientist, 419:577-579.

Ferenczi, S. (1913)To whom does one relate one’s dreams? In: Further Contributions to the Theory and Technique of Psycho-Analysis. New York: Brunner/Mazel, 349.

Freud, S. (1940). An Outline of Psychoanalysis. London: Hogarth Press.

Gilovich, Thomas (1991). How We Know What Isn’t So: the fallibility of human reason in everyday life. Simon & Schuster. pp. 177–180.

Griffin, J. (1997) The Origin of Dreams: How and why we evolved to dream. The Therapist, Vol 4 No 3.

Griffin, J. & Tyrrell, I. (2003) Human Givens: A new approach to emotional health and clear thinking. HG Publishing.

Griffin, J, Tyrrell, I. (2004) Dreaming Reality: how dreaming keeps us sane or can drive us mad’. Human Givens Publishing.

Hajek P, Belcher M (1991). “Dream of absent-minded transgression: an empirical study of a cognitive withdrawal symptom”. J Abnorm Psychol 100 (4): 487–91.

Hall, C., & Van de Castle, R. (1966). The Content Analysis of Dreams. New York: Appleton-Century-Crofts. Content Analysis Explained

Harrison, John E. (2001). Synaesthesia: The Strangest Thing. Oxford University Press.

Hartmann, E. (1995)Making connections in a safe place: Is dreaming psychotherapy? Dreaming, 5:213-228.

Hines, Terence (2003). Pseudoscience and the Paranormal. Prometheus Books. pp. 78–81.

Hobson, J.A., and McCarly, R.W. (1977). The brain as a dream-state generator: An activation-synthesis hypothesis of the dream process. American Journal of Psychiatry, 134, 1335-1348.

Jung, C. (1948) General aspects of dream psychology. In: Dreams. Princeton, NJ: Princeton University Press, 23-66.

Jung, C.G. (1909). The Psychology of Dementia Praecox, translated by F. Peterson and A.A. Brill. New York: The Journal of Nervous and Mental Disease Publishing Company.

Kher, Chitrarekha V. (1992). Buddhism As Presented by the Brahmanical Systems. Sri Satguru Publications.

Kida, Thomas (2006). Don’t Believe Everything You Think: The 6 Basic Mistakes We Make in Thinking. Prometheus Books.

Kramer, M. (1993)The selective mood regulatory function of dreaming: An update and revision. In: The Function of Dreaming. Ed., A. Moffitt, M. Kramer, & R. Hoffmann. Albany, NY: State University of New York Press.

La Barre, W. (1975). Anthropological Perspectives on Hallucination and Hallucinogens. In R.K. Siegel and L.J. West (eds.), Hallucinations: Behavior, Experience, and Theory. New York: Wiley.

Lewis, C. S. The Discarded Image. Canto, Cambridge University Press.

Lohff, David C. (2004). The Dream Directory: The Comprehensive Guide to Analysis and Interpretation. Running Press 0762419628.

Louie, Kenway; Matthew A. Wilson (1 January 2001). “Temporally Structured Replay of Awake Hippocampal Ensemble Activity during Rapid Eye Movement Sleep”. Neuron 29 (1): 145-156.

Madey, Scott; Thomas Gilovich (1993). “Effects of Temporal Focus on the Recall of Expectancy-Consistent and Expectancy-Inconsistent Information”. Journal of Personality and Social Psychology 62 (3).

McCreery, C. (1997). Hallucinations and arousability: pointers to a theory of psychosis. In Claridge, G. (ed.): Schizotypy, Implications for Illness and Health. Oxford: Oxford University Press.

McCreery, C. (2008). Dreams and psychosis: a new look at an old hypothesis. Psychological Paper No. 2008-1. Oxford: Oxford Forum.

National Institute of Neurological Disorders and Stroke. 2006. “Brain Basics: Understanding Sleep”

Oswald, I. (1962). Sleeping and Waking: Physiology and Psychology. Amsterdam: Elsevier.

Payne, J. D dan Nadel, L (2004). “Sleep, dreams, and memory consolidation: The role of the stress hormone cortisol”. LEARNING & MEMORY: 671–678.

Rey M, Bastuji H, Garcia-Larrea L, Guillemant P, Mauguière F, Magnin M (July 2007). “Human thalamic and cortical activities assessed by dimension of activation and spectral edge frequency during sleep wake cycles”. Sleep 30 (7): 907–12.

Robert, W. Der Traum als Naturnothwendigkeit erklärt. Zweite Auflage, Hamburg: Seippel, 1886.

Rock, Andrea (2004). “3″. The Mind at Night: The New Science of How and Why we Dream. Basic Books.

Schredl, M., Ciric, P., Götz, S.P., Wittmann, L. (November 2004). “Typical Dreams: Stability and Gender Differences”. The Journal of Psychology 138 (6): 485

Solms, M. (2000). Dreaming and REM sleep are controlled by different brain mechanisms (23(6) ed.). Behavioral and Brain Sciences. pp. 793–1121.

Stevens, J.M. and Darbyshire, A.J. (1958). Shifts along the alert-repose continuum during remission of catatonic ‘stupor’with amobarbitol. Psychosomatic Medicine, 20, 99-107.

Stickgold, R. , J. A. Hobson, R. Fosse, M. Fosse1 (November 2001). “Sleep, Learning, and Dreams: Off-line Memory Reprocessing”. Science 294 (5544): 1052–1057.

Tarnow, Eugen (2003). How Dreams And Memory May Be Related (5(2) ed.). NEURO-PSYCHOANALYSIS.

The American Heritage Dictionary of the English Language, Fourth Edition. 2000. Dream

Tsai, Y. D (1995). “A Mind-Body Interaction Theory of Dream”.

Van Riper, A. Bowdoin (2002). Science in popular culture: a reference guide. Westport: Greenwood Press. pp. 56

Vedfelt, Ole (1999). The Dimensions of Dreams. Fromm.

Watanabe, T. (2003). “Lucid Dreaming: Its Experimental Proof and Psychological Conditions”. J Int Soc Life Inf Sci 21 (1).

Webb, Craig (1995). “Dreams: Practical Meaning & Applications”. The DREAMS Foundation.

Wegner, D.M., Wenzlaff, R.M. & Kozak M. (2004). “The Return of Suppressed Thoughts in Dreams”. Psychological Science 15 (4): 232–236.

Wein, B. “DREAMS”

Zadra, A., “1093: Sex Dreams: What Do Men And Women Dream About?” SLEEP, Volume 30, Abstract Supplement, 2007 A376.

Zhang, Jie (2004). Memory process and the function of sleep (6-6 ed.). Journal of Theoretics.

Zhang, Jie (2005). Continual-activation theory of dreaming, Dynamical Psychology.

9 Hukum Dasar Stratigrafi

Published Juli 26, 2012 by gaulnugraha

Hukum – Hukum Dasar Stratigrafi

Tujuan utama semua hukum stratigrafi adalah untuk penentuan umur relatif, yaitu untuk memperkirakan batuan mana yang terbentuk lebih dulu dan batuan mana yang terbentuk terakhir. Juga penentuan umur absolutkapan tepatnya batuan itu terbentuk?”. Ini bisa diketahui melalui metode radiometri/datting dengan mengukur kadar unsur radioaktif batuan sehingga diketahui umur batuan secara tepat. Hukum-hukum stratigrafi tersebut yaitu:

  • Hukum Superposisi (Steno, 1669)
  • Hukum Horizontalitas (Steno, 1669)
  • Original Continuity (Steno, 1669)
  • Uniformitarianism (Hutton, 1785)
  • Faunal Succession (Abble Giraud-Soulavie, 1778)
  • Strata Identified by Fossils (Smith, 1816)
  • Facies Sedimenter (Selley, 1978)
  • Cross-Cutting Relationship
  • Law Of Inclusion

1.      Hukum Superposisi (Nicolas Steno,1669)

Dalam suatu urutan perlapisan batuan, maka lapisan batuan yang terletak di bawah umurnya relatif lebih tua dibanding lapisan diatasnya selama lapisan batuan tersebut belum mengalami deformasi.

2.      Hukum Horizontalitas (Nicolas Steno,1669)

Pada awal proses sedimentasi, sebelum terkena gaya atau perubahan, sedimen terendapkan secara horizontal

3.      Original Continuity (Nicolas Steno,1669)

Batuan sedimen melampar dalam area yang luas di permukaan bumi.

4.      Uniformitarianism (James Hutton, 1785)

Uniformitarianisme adalah peristiwa yang terjadi pada masa geologi lampau dikontrol oleh hukum-hukum alam yang mengendalikan peristiwa pada masa kini.  Hukum ini lebih dikenal dengan semboyannya yaitu “The Present is the key to the past.” Maksudnya adalah bahwa proses-proses geologi alam yang terlihat sekarang ini dipergunakan sebagai dasar pembahasan proses geologi masa lampau.

5.      Faunal Succession (Abble Giraud-Soulavie, 1778)

Pada setiap lapisan yang berbeda umur geologinya akan ditemukan fosil yang berbeda pula. Secara sederhana bisa juga dikatakan Fosil yang berada pada lapisan bawah akan berbeda dengan fosil di lapisan atasnya.Fosil yang hidup pada masa sebelumnya akan digantikan (tertindih) dengan fosil yang ada sesudahnya, dengan kenampakan fisik yang berbeda (karena evolusi). Perbedaan fosil ini bisa dijadikan sebagai pembatas satuan formasi dalam lithostratigrafi atau dalam koreksi stratigrafi.

6.      Strata Identified by Fossils (Smith, 1816)

Perlapisan batuan dapat dibedakan satu dengan yang lain dengan melihat kandungan fosilnya yang khas

7.      Facies Sedimenter (Selley, 1978)

Suatu kelompok litologi dengan ciri-ciri yang khas yang merupakan hasil dari suatu lingkungan pengendapan yang tertentu. Aspek fisik, kimia atau biologi suatu endapan dalam kesamaan waktu. Dua tubuh batuan yang diendapakan pada waktu yang sama dikatakan berbeda fsies apabila kedua batuan tersebut berbeda fisik, kimia atau biologi (S.S.I.)

8.      Cross-Cutting Relationship (A.W.R Potter & H. Robinson)

Apabila terdapat penyebaran lap. Batuan (satuan lapisan batuan), dimana salah satu dari lapisan tersebut memotong lapisan yang lain, maka satuan batuan yang memotong umurnya relatif lebih muda dari pada satuan batuan yang di potongnya.

9.      Law of Inclusion

Inklusi terjadi bila magma bergerak keatas menembus kerak, menelan fragmen2 besar disekitarnya yang tetap sebagai inklusi asing yang tidak meleleh. Jadi jika ada fragmen batuan yang terinklusi dalam suatu perlapisan batuan, maka perlapisan batuan itu terbentuk setelah fragmen batuan. Dengan kata lain batuan/lapisan batuan yang mengandung fragmen inklusi, lebih muda dari batuan/lapisan batuan yang menghasilkan fragmen tersebut.

Ametabola,Heterometabola & Holometabola

Published Juli 25, 2012 by gaulnugraha

Ametabola, Heterometabola, Holometabola

  1. Ametabola adalah serangga yang tidak mengalami metamorfosis, contohnya adalah kutu buku (Lepisma)
  2. Heterometabola adalah serangga yang mengalami metamorfosis tidak sempurna, pada serangga ini mengalami beberapa tahapan yaitu, telur,
    nimfa, ialah serangga muda yang mempunyai sifat dan bentuk sama dengan dewasanya. Dalam fase ini serangga muda mengalami pergantian kulit.
    kemudian Imago (dewasa), ialah fase yang ditandai telah berkembangnya semua organ tubuh dengan baik, termasuk alat perkembangbiakan serta sayapnya.
  3. Holometabola merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Tahapan dari daur serangga yang mengalami metamorfosis sempurna adalah telur – larva – pupa – imago. Larva adalah hewan muda yang bentuk dan sifatnya berbeda dengan dewasa. Pupa adalah kepompong dimana pada saat itu serangga tidak melakukan kegiatan, pada saat itu pula terjadi penyempurnaan dan pembentukan organ. Imago adalah fase dewasa atau fase perkembangbiakan.

MOSQUITO MILITARY AIRCRAFT

Published Juli 25, 2012 by gaulnugraha

MOSQUITO MILITARY AIRCRAFT

 

Nyamuk adalah serangga dari ordo diptera yang telah hidup 30 juta tahun yang lalu. Melalui proses adaptasi dan belajar yang cukup lama ini maka kemampuan untuk menemukan mangsanya (inang) tidak diragukan lagi. Alat-alat sensorisnya telah dikhususkan untuk dapat menemukan inang. Sensor yang dapat dideteksi berupa :

  • Sensor kimia

Nyamuk dapat merasakan keberadaan karbon dioksida (CO2­­­­) dan asam laktat dari radius 100 feet atau 36 meter ( salah satu metode traping nyamuk dewasa adalah dengan menggunakan atraktan berupa gas CO2). Secara alami mammalia dan aves dalam proses respirasinya menghasilkan gas CO2. Selain itu bau keringat juga dapat menarik perhatian nyamuk, sehingga orang yang tidak banyak keringat cenderung jarang ditusuk dan dihisap oleh nyamuk.

  • Sensor visual

Nyamuk mampu mendeteksi mangsanya secara visual dengan melihat warna tubuhnya atau pakaiannya. Pakaian yang berwarna kontras dengan latar lingkungannya, dianggap nyamuk sebagai targetnya. Seperti pada vampir (mayat hidup penghisap darah), motto nyamuk dalam menemukan mangsanya adalah apapun yang bergerak pasti hidup dan mengandung darah. ( so hati-hati dengan KSE’ers yang motonya “Bergerak Tanpa Batas” pasti mudah ditemukan nyamuk)

  • Sensor panas

Nyamuk dapat mendeteksi panas, sehingga sangat mudah sekali menemukan inang yang bersifat homoioterm seperti mammal dan aves pada keadaan gelap.

Keberadaan alat sensor ini menimbulkan anggapan bahwa nyamuk lebih mirip pesawat militer dibandingkan dengan seekor serangga. Hal ini juga didukung dengan morfologi dari nyamuk itu sendiri, pada bagian anterior tubuhnya merupakan bagian navigator dengan keberadaan alat-alat sensoris dan terdapat pula alat penusuk dan penghisap. Pada bagian tengah tubuhnya adalah thoraks dengan sepasang sayap terbangnya. Pada bagian posterior adalah abdomen yang merupakan tempat terjadinya berbagai aktivitas metabolisme yang menghasilkan energi layaknya sebagai mesin.

 

Low Profile,Antara Fakta dengan Realita

Published Juli 24, 2012 by gaulnugraha

         Ada istilah yang sering digunakan dalam pergaulan yakni low profile.Sebutan ini sering ditujukan pada seseorang yang sebenarnya potensial namun tidak mau menonjolkan diri di hadapan publik. Karena pembawaannya, orang yang low profile umumnya rendah hati. Hampir-hampir selalu menghindari berdebat keras di depan umum. Atau ekstremnya tidak banyak ngomong. Namun bukan berarti introvert. Di dunia organisasi kalau toh orang itu punya gagasan selalu disampaikan lewat atasannya. Sifat itu berkaitan dengan kultur, sifat bawaan orang bersangkutan, dan bisa berkait dengan perekayasaan yakni semacam aturan tertulis dan konvensi.

         Tidak jarang seseorang, misalnya yang memiliki kedudukan wakil direktur (wa-dir) dihadapkan pada kesulitan ketika akan menyampaikan gagasan dalam suatu rapat manajemen. Kesulitan ini berkaitan dengan semacam “tatakrama” dalam hal tutur kata dan hirarki jabatan. Ada semacam aturan tidak tertulis atau konvensi ketika atasan hadir dalam rapat tersebut sebaiknya wakilnya jangan proaktif banyak bicara. Kecuali dimintai atau diberi kesempatan berpendapat. Termasuk juga ketika ada “obrolan yang melibatkan para direksi dan wa-dir. Ada semacam konvensi, sang wa-dir sebaiknya low profile karena “khawatir” atasannya merasa tersinggung dan wibawanya turun. Belum lagi ada pertanyaan menggoda kalau wa-dir proaktif bicara dan bekerja ; lalu mana yang sebenarnyareal direktur? Apakah sang direktur atau wakilnya?

         Sifat low profile seseorang sering dihadapkan pada keputusan dilematis. Hal ini kalau low profile itu diposisikan sebagai hasil suatu rekayasa aturan. Ambil contoh saja, di satu sisi sang direktur jarang bicara dan kalau pun bicara tetapi mutunya rendah. Dan cenderung tidak bersemangat menerima gagasan dari wakilnya. Sementara di sisi lain wakilnya jauh lebih cerdas. Namun karena bersifat low profile yang artifisial maka gagasannya berhenti hanya di dalam hati saja. Padahal untuk menghadapi beberapa hal yang mendesak dan strategis, keputusan cemerlang perlu segera diambil. Bisa ditebak apa akibatnya bagi pengembangan unit yang dipimpin direksi bersangkutan.

          Dalam dunia usaha yang beroperasi semakin mengglobal maka dibutuhkan terobosan-terobosan cemerlang. Terobosan itu lahir melalui proses manajemen perubahan. Di dalamnya ada kegiatan diskusi intensif di antara para manajemen dan karyawan. Dalam model manajemen kemitraan (partnership) siapapun didorong untuk mengemukakan pendapat. Begitu pula kalau perusahaan sudah menjadi organisasi pembelajaran. Perusahaan mengembangkan transparansi, akuntabilitas, dan pelatihan-pengembangan diri di kalangan karyawan (manajemen dan non-manajemen). Karena itu perilaku low profile yang direkayasa manajemen puncak sudah ketinggalan zaman. Model itu akan menghambat perkembangan inisiatif, kreatifitas, dan daya inovasi manajemen dari para subordinasi. Biarkanlah mereka secara terbuka dan khusus langsung ke atasan dan sesama mitra kerja untuk menyampaikan semua gagasannya.

         Namun di sisi lain sifat bawaan low profile yang mencerminkan kerendahan hati dan tidak menonjolkan diri sangatlah dibutuhkan perusahaan. Itu penting sebagai modal integritas pribadi karyawan dalam meningkatkan pengembangan diri sendiri. Termasuk pengembangan hubungan kerja dan sosial yang saling mengerti dengan mitra kerja dan dengan atasan. Selain itu sebagai pekerja keras dan cerdas, salah satu ciri seorang karyawan  yang baik adalah low profile. Malah konon sebagian khalayak berujar, biarkan saja seseorang itu bersifat low profile asalkan high bonafide.

Isolasi Bakteri Anaerob

Published Juli 23, 2012 by gaulnugraha

ISOLASI BAKTERI ANAEROB

Pendahuluan

Bakteri anaerob adalah jenis bakteri yang hanya mampu hidup pada kondisi tidak ada oksigen. Bakteri akan mati bila terkena oksigen karena oksigen menjadi toksik bagi bakteri ini. Habitat dari bakteri anaerob berada di dalam saluran pencernaan (Escherichia coli) atau di bawah permukaan tanah (Paracoccus) (Black 1999).

Bakteri tanah adalah jenis bakteri yang dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian berdasarkan sumber makanan  yaitu : bakteri autotrof atau bakteri litotrof yang mampu menghasilkan makanan sendiri seperti bakteri nitrifikasi (Nitrosomonas), bakteri denitrifikasi (Paracoccus denitrificans), bakteri pengoksidasi belerang (Thiobacillus tepidarius), dan bakteri pereduksi sulfat (Desulfovibrio). Berdasarkan sumber energi, bakteri dibedakan menjadi bakteri fotoautotrof yang mampu menghasilkan makanan sendiri dengan cahaya matahari sebagai sumber energi dan bakteri kemoautorof yang mampu menghasilkan makanan dengan oksidasi bahan organik sebagai sumber energinya (Purwoko 2009).

Respirasi anaerob yang umum dipelajari terjadi pada Escherichia coli yang mampu melakukan respirasi ketika ada nitrat atau fumarat sebagai akseptor elektron. Hal itu terjadi karena oksigen menghambat (represi) sintesis nitrat reduktase atau fumarat reduktase. Jika E. coli menyintesis nitrat reduktase, nitrat reduktase akan menghambat sintesis fumarat reduktase. Jadi ada hierarki sitokrom pada respirasi E.coli yaitu dari sitokrom bo ke sitokrom bd (respirasi aerob) ke nitrat reduktase dan fumarat reduktase (respirasi anaerob) (Purwoko 2009)..

Amilum adalah polisakarida yang disusun dari banyak glukosa. Adanya enzim amilase pada bakteri mempermudah bakteri menghidrolisis amilum menjadi monomer glukosa yang nantinya akan digunakan dalam reaksi siklus kreb untuk mendapatkan fumarat sebagai salah satu akseptor elektron bakteri anaerob (Meryandini et al. 2009).

Tujuan

Mengisolasi bakteri dari lingkungan anaerob (di bawah permukaan tanah) yang memiliki enzim ekstraseluler (amilase).

 

Pembahasan

Bakteri anaerob adalah bakteri yang hanya mampu hidup pada lingkungan tidak ada oksigen karena pada bakteri ini oksigen bersifat toksik (racun) yang dapat membuat bakteri mati (Suriawiria 2005). Kemampuan bakteri anaerob hidup dalam suasana non-oksik membuat bakteri ini menggunakan akseptor elektron selain oksigen (nitrat atau fumarat) untuk dapat menghasilkan energi dan melangsungkan proses metabolisme (Purwoko 1999). Proses metabolisme ini melibatkan enzim-enzim ekstraseluler yaitu enzim yang dihasilkan dari luar sel bakteri seperti enzim amilase yang menghidrolisis amilum menjadi monomer glukosa. Glukosa yang diperoleh akan digunakan sebagai sumber karbon setelah melalui proses siklus krebs dengan pengonversian glukosa menjadi fumarat (Meryandini et al. 2009).

Bakteri anaerob diisolasi dari tanah yang diambil dari 10 cm di bawah permukaan tanah. Pengambilan dengan jarak ini dilakukan dengan asumsi tanah yang diambil berada di zona non-oksik (tidak ada oksigen). Proses percobaan dilakukan selama satu minggu meliputi proses isolasi pada dua pengenceran (10-1 dan 10-2), uji kekeruhan dan bau, uji metilen biru, dan pengujian zona bening. Media yang digunakan adalah media amilam dengan kandungan amilum sebagai sumber karbon bakteri. Penggunaan media ini untuk mengetahui reaksi enzimatik amilase bakteri sebagai enzim ekstraseluler yaitu enzim yang dihasilkan di luar sel tubuh bakteri. Proses penumbuhan bakteri dilakukan di dalam anaerob jar yaitu alat kedap udara (bebas oksigen) yang memiliki kandungan karbon dioksida dan hidrogen yang dapat memacu pertumbuhan optimal bakteri. Karena selain bebas oksigen, bakteri membutuhkan karbon dioksida dengan kadar 8-10% sebagai sumber karbon dan hidrogen sebagai sumber proton yang digunakan untuk menghasilkan energi (Suhardi & Indriani 2008).

Hasil yang diperoleh meliputi kekeruhan isolat, bau isolat, uji metilen biru, dan luas zona bening. Isolat yang memiliki tingkat kekeruhan dan bau tertinggi berada pada pengenceran 10-1. Hal ini disebabkan pada pengenceran 10-1 jumlah bakteri yang pada pada medium lebih banyak dibandingkan dengan pengenceran 10-2 sehingga aktivitas bakteri dalam bermetabolisme dan menghasilkan zat sisa metabolisme lebih besar. Metilen biru digunakan sebagai indikator kandungan glukosa pada media. Uji metilen biru yang dilakukan memperlihatkan warna putih pada dasar tabung yang menunjukkan adanya reaksi enzimatik amilase dalam menghidrolisis amilum menjadi glukosa. Glukosa yang dihasilkan akan memasuki proses siklus krebs (respirasi anaerob) dan diubah menjadi fumarat. Pembentukan fumarat dikatalis oleh enzim fumarat reduktase. Fumarat yang terbentuk digunakan sebagai akseptor elektron untuk menghasilkan energi dari proses metabolisme bakteri (Purwoko 2009). Luas zona bening dilakukan dengan menyebarkan iodin (indikator pati) pada cawan. Luas zona bening paling luas dihasilkan dari pengenceran 10-2 yakni sebesar 8,86 cm2. Jumlah bakteri yang tumbuh pada pengenceran 10-2 tidak sebanyak pada pengenceran 10-1 sehingga ruang tumbuh bakteri menjadi lebih luas dan persaingan dalam memperoleh sumber karbon media tidak terlalu tinggi dan zona bening yang terbentuk luas (Kusmiati & Dodi 2003).

Bakteri tanah adalah jenis bakteri yang dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian berdasarkan sumber makanan  yaitu : bakteri autotrof atau bakteri litotrof yang mampu menghasilkan makanan sendiri seperti bakteri nitrifikasi (Nitrosomonas), bakteri denitrifikasi (Paracoccus denitrificans), bakteri pengoksidasi belerang (Thiobacillus tepidarius), dan bakteri pereduksi sulfat (Desulfovibrio). Berdasarkan sumber energi, bakteri dibedakan menjadi bakteri fotoautotrof yang mampu menghasilkan makanan sendiri dengan cahaya matahari sebagai sumber energi; dan bakteri kemoautorof yang mampu menghasilkan makanan dengan oksidasi bahan organik sebagai sumber energinya (Purwoko 2009).

 

Simpulan

Bakteri anaerob adalah bakteri yang hanya mampu hidup pada kondisi tidak ada oksigen. Bakteri anaerob menggunakan enzim amilase untuk memecah sumber karbon amilum menjadi glukosa. Glukosa yang dihasilkan dikonversi menjadi fumarat (akseptor elektron) untuk menghasilkan energi bakteri. Salah satu habitat bakteri anaerob adalah tanah. Bakteri anaerob yang hidup di dalam tanah adalah bakteri nitrifikasi (Nitrosomonas), bakteri denitrifikasi (Paracoccus denitrificans), bakteri pengoksidasi belerang (Thiobacillus tepidarius), dan bakteri pereduksi sulfat (Desulfovibrio).